“It’s okay to be rejected. Sukses itu… kita hanya perlu satu orang untuk bilang iya. Kita tidak perlu seratus orang. Kita hanya butuh satu orang untuk jadi pintu kita.” kata Livi Zheng di hari pertama Kongres Diaspora Indonesia ke-3 di Jakarta (12/8).
Livi Zheng yang merupakan Diaspora Indonesia adalah seorang artis, stuntwomen, penulis naskah, sutradara dan produser kelahiran Blitar, 3 April 1989 yang sudah mengukir namanya di Hall of Fame dunia perfilman: Hollywood. Film Brush with Danger yang ditulis, dibintangi dan disutradarainya akan keluar di Indonesia pada bulan November 2015.
Livi memulai karirnya sebagai stuntwomen di usia 15 tahun. Seorang atlet bela diri yang sudah ditempa dari usia sangat muda, wushu menjadi tiket bagi Livi untuk memulai karirnya di dunia film. “Wushu itu sangat applicable untuk dunia film karena gerakannya indah,”ceritanya. Livi bahkan memperoleh beasiswa ke stunt school dimana dia belajar membakar orang, jatuh dari ketinggian dan menyetir mobil dengan aman.
Memulai karir di Indonesia, Livi kemudian pindah ke Beijing pada usia 16 tahun. Tak puas hanya dengan satu negara, Livi memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat untuk mengejar gelar sarjananya. Kali ini pilihan jurusannya lebih praktis: ekonomi. Menurut hematnya, ekonomi merupakan pilihan yang versatile.
Livi lulus dengan predikat “excellent” dalam waktu tiga tahun, membuatnya terpikir untuk melanjutkan sekolah hingga level doctoral di bidang ekonomi. Namun pertemuan dengan seorang stunt coordinator senior merubah pikirannya. Livi memutuskan bahwa dunia film adalah dunia yang ingin ditekuninya.
Livi pun memutuskan untuk mengambil master di University of Southern California jurusan perfilman, salah satu sekolah terbaik di Amerika Serikat dengan rasio penerimaan hanya 4 persen. “Untung – untungan juga, tapi kebetulan keterima.”
Jalan Panjang menjadi Sutradara
Mendapatkan beasiswa bukan akhir jalan panjang menjadi sutradara. “Kalau di film itu, pendidikan penting tapi bukan segalanya. Walaupun kita lulus dari sekolah penyutradaraan , mulai dari bawah itu penting. Jadi jangan ragu untuk mengerjakan apa pun, ambillah semua oportunity yang ada. Pasti semua skill itu, skill untuk mengerti cost atau kostum akan terpakai. Kita tidak mungkin mendalaminya, tapi semua skill itu pasti akan terpakai.”
Livi Zheng adalah seorang wanita cerdas, namun menjadi sutradara bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya saat menjadi seorang asisten di set film, jam kerjanya sangat panjang tapi membangun set adalah hal yang bisa dipelajari dengan cepat.
“Ternyata jadi sutradara itu susah sekali. Saat kita menjadi sutradara, kan tidak mungkin untuk merekam sendiri, mengatur sound sendiri. Aku perlu tim, semua spesialis, dan orang sana (Amerika) merupakan orang yang sangat picky. Cari kru itu sangat sulit.”kata Livi.
Livi juga bercerita bahwa menemukan pendanaan untuk scenario yang ditulis bersama adiknya Ken Zheng juga tidak mudah. Di Amerika dimana 40.000 film diproduksi setiap tahun, jumlah scenario yang ditawarkan bisa berkali – kali lipat dari jumlah yang diproduksi. Bagi pemula, mendapatkan perhatian jelas bukan hal yang mudah. Setelah berkali – kali merevisi, seorang teman bersedia memperkenalkannya ke seorang produser yang bersedia memproduksi filmnya. Perkenalan itu membuka pintu bagi Livi untuk menjadi sutradara yang diimpikannya.
Mimpi Selanjutnya: Bekerja Bersama Komposer Indonesia
Livi melihat bahwa dunia perfilman Indonesia dipenuhi oleh talenta – talenta yang luar biasa banyaknya, hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk ditemukan. Musik gamelan, arsitektur yang cantik, serta sineas – sineas muda yang bertalenta tinggi merupakan modal perfilman Indonesia.
Livi mempunyai mimpi untuk bekerja bersama, membuat score musik untuk film – film karyanya. “Aku belum kenal banyak musisi, tapi aku ingin bekerja sama dengan musisi untuk mengisi film – filmku, bahkan film keduaku yang akan dirilis tahun depan di Amerika. Aku butuh komposer untuk film – filmku.”kata Livi sambil tersenyum.
Livi yang bangga menjadi Diaspora Indonesia ini juga mengatakan bahwa dia positif akan masa depan perfilman Indonesia. Menghabiskan lebih dari separuh usianya di luar negeri tidak mengikis rasa nasionalismenya. Masakan kegemarannya pun tetap rawon. Obat andalannya saat masuk angin tetap jamu tradisional.
Adanya bakat Indonesia yang diterima di Hollywood memperkuat keyakinannya. Indonesia, negara dengan 240 juta penduduk dan berjuta bakat ini pasti akan maju. Talenta yang ada sangat banyak, termasuk insan dunia perfilman.
Sumber: kemlu.go.id